BREED #133: Daring Greatly | Gatot Widayanto, Dipidiff & Imam Dermawan

Topik: Bedah Buku ke-133 – Daring Greatly karya Brené Brown

Poin-poin:

  • Acara rutin BRID malam Rabu membedah buku ke-133, dibuka oleh Kang Denny, dimoderatori oleh Pak Imam Dermawan, dengan reviewer utama Pak Gatot dan guest speaker Mbak Dipi.
  • Buku yang dibahas adalah Daring Greatly karya Brené Brown, yang menekankan pentingnya keberanian untuk tampil rentan (vulnerable).
  • Why, What, How:
    • Why: Manusia merindukan keterhubungan (connection) karena ingin merasa dihargai dan dilihat.
    • What: Buku ini mengangkat pentingnya koneksi, pengaruh budaya (culture), dan keberanian (courage).
    • How: Menerapkan nilai-nilai kerentanan, keberanian, dan mengakui ketidaksempurnaan.
  • Tiga konsep utama buku:
    1. Connection – Kebutuhan manusia untuk merasa dilihat dan dihargai. Ketidakhadiran dalam pertemuan sosial menciptakan rasa “tidak terlihat”.
    2. Culture – Budaya “never enough” membuat individu merasa kurang (not smart enough, not perfect enough). Melahirkan rasa malu (shame) dan ketakutan (fear).
    3. Courage – Keberanian untuk mengakui ketidaksempurnaan, menunjukkan sisi manusiawi, dan tetap tampil berani (daring greatly).
  • Vulnerability:
    • Bukan kelemahan, tapi keberanian.
    • Kerentanan bisa memicu keterhubungan, kepercayaan, dan empati.
    • Contoh: peran seorang pemimpin yang mengakui kekurangannya bisa lebih dihargai.
  • Mbak Dipi sebagai guest menyampaikan bahwa:
    • Ia bukan psikolog, namun suka topik psikologi karena latar belakang pribadi dan keluarganya.
    • Vulnerability itu menular; ketika seseorang membuka diri, yang lain cenderung mengikuti.
    • Contoh dari sejarah: Warga London saat dibombardir Jerman tidak hancur moralnya, justru menunjukkan solidaritas dan kekuatan kolektif.
    • Compassionate instinct (insting welas asih) muncul dari kerentanan bersama.
    • Narcissism bisa dilihat sebagai bentuk ketakutan dan kerentanan, bukan semata-mata egoisme.
    • Tantangan budaya “tidak cukup” (scarcity mindset) sangat relevan; solusi dimulai dari merasakan diri “cukup”.
  • Pesan akhir:
    • Semua orang bisa berani tampil, terlibat, dan membagikan pengalaman.
    • BRID adalah ruang yang aman untuk belajar dan berbagi, bahkan dari reviewer yang tidak merasa sempurna.
    • Ajakan untuk “terjun saja”, karena proses belajar terjadi saat kita mulai melangkah.

Catatan: ringkasan ini dibuat oleh AI (Artificial Intelligence), kesalahan bisa terjadi. Silahkan nonton video aslinya (lengkap) agar tidak salah.
-AI-

More from author

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Related posts

Advertismentspot_img

Latest posts

BREED #258: LIFTOFF | Helmi Himawan, Budi Rahardjo & Jaha Nababan

https://www.youtube.com/watch?v=YCL-ISxxiRI Topik: Pembukaan dan Perkenalan Acara Acara diselenggarakan oleh komunitas Breed dalam rangkaian bedah buku ke-258. Moderator: Gilang (sosiolog digital). Reviewer: Fuad Afif Heria (engineer & energy...

BREED #257: The Power of Strangers | Fuad A Herya, Panji Sisdianto & Gilang

https://www.youtube.com/watch?v=ulclyHtsIxQ Topik: Pembukaan Acara Breed 257 Breed telah memasuki minggu ke-257, acara bedah buku rutin. Susunan acara: pembukaan, book review 20 menit, komentar guest 20 menit,...

Style Boleh, Plagiat Jangan? Etika AI dalam Kreativitas (Budi Rahardjo)

AI, Hak Cipta, dan Pertanyaan Etika: Apakah Gaya Bisa Dimiliki? Perkembangan Artificial Intelligence (AI) dalam bidang kreatif, khususnya seni visual dan musik, menimbulkan banyak perdebatan....